Pemenuhan protein hewani sangat berperan penting dalam menyehatkan dan mencerdaskan anak bangsa.
Peningkatan konsumsi protein hewani asal ternak bisa dimaknai juga sebagai upaya mengoptimalkan pangsa pasar domestik yang sekaligus juga merupakan simbol kebangkitan ekonomi kerakyatan.
Hal itu disampaikan oleh I Ketut Diarmita selaku Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian pada acara Seminar Nasional Industrialisasi Unggas Lokal yang Berdaya Saing yang dilaksanakan pada Selasa, (27/2) di Bogor dan dihadiri oleh para pelaku perunggasan di Indonesia.
I Ketut Diarmita mengungkapkan, protein hewani asal ternak ini memiliki posisi penting karena menentukan kualitas sumberdaya manusia sebagai ‘agen perubahan’.
Protein hewani asal ternak bisa bersumber dari daging, telur dan susu. I Ketut menyebutkan, telur dan daging ayam untuk saat ini merupakan sumber protein hewani yang mudah dijangkau, mudah dipelihara dan murah harganya dibanding dengan daging ruminansia besar maupun ruminansia kecil.
Selain itu, ketersediaannya pun sangat mencukupi karena Indonesia sudah swasembada daging unggas, bahkan over supply.
“Jumlah populasi unggas di Indonesia yang pada tahun 70-an hanya ratusan ribu ekor kini telah menjadi lebih dari 1 miliar ekor. Ini suatu lompatan yang luar biasa," tandasnya.
Dengan begitu, produksi daging unggas yang sudah swasembada ini bisa menjadi motor untuk mengubah pola konsumsi protein hewani asal ternak dari red meat ke white meat.
Lebih lanjut Dirjen PKH menyampaikan, selama hampir 5 dekade terakhir peranan unggas baik lokal maupun ras semakin meningkat tajam dalam sumbangannya terhadap produksi daging nasional. Berdasarkan data statistik peternakan, pada awal tahun 70an kontribusi daging unggas hanya sebesar 15%, tetapi pada tahun 2017 produksinya telah mencapai 2.147,21 ribu ton atau 66,34% terhadap produksi daging secara keseluruhan.
Dia juga menyebutkan, bahwa produksi telur juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam penyediaan protein hewani. Dari total produksi telur secara keseluruhan sebanyak 1.970.853 ton, telur ayam buras sebanyak 196.138 ton (9,95%), sedangkan telur ayam ras sebanyak 1.428.195 ton (72,47%), dan telur itik sebanyak 290.110 ton (14,72%).
I Ketut melihat, ayam buras sangat akrab di pedesaan dan dapat menjadi kegiatan penting untuk menggerakkan perekonomian pedesaan. Untuk itu, pemerintah mengembangkan usaha ternak ayam buras di masyarakat sebagai instrumen dalam program pengentasan kemiskinan dan perbaikan gizi masyarakat.
“Selain ayam buras, itik juga dapat menjadi instrumen penting untuk peningkatan gizi masyarakat dan tambahan ‘income’ bagi Rumah Tangga yang memelihara,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama Ketua HIMPULI, Ade M Zulkarnain mengatakan, tren usaha ayam lokal terus meningkat dan bisa menjadi penyediaan pangan berbasis sumberdaya lokal. Untuk itu Ia berpendapat pengembangan unggas lokal juga harus tetap menjaga kelestarian plasma nutfah.(jpnn)
Sumber: JPNN.com
No comments:
Post a Comment